JAKARTA – Beragam kegiatan masyarakat mulai lebih dari sekadar bergeliat. Kepulihan beragam sektor kehidupan ini terjadi usai lebih dua tahun terbatasi ketidakpastian yang diakibatkan pandemi. Berangsur, pandemi covid-19 di Tanah Air berubah menjadi endemi.
Tempat-tempat publik mulai disambangi. Anak-anak kembali ke bangku sekolah. Perjalanan menggunakan angkutan umum lebih bebas dilakukan. Sirene ambulans yang berlalu lalang mengerikan di paruh kedua 2021 lalu, kini kian jarang.
Kasus positif covid-19 memang telah berkurang. Sebagai gambaran, Kemenkes mencatat, per 28 Mei 2022, jumlah kasus konfirmasi harian covid-19 hanya 279 laporan di 33 provinsi di Indonesia. Adapun jumlah kesembuhan covid-19 harian yang mencapai 248 laporan. Dengan laporan meninggal akibat korona yang nihil.
Dengan kondisi stabil seperti ini, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk melonggarkan kebijakan pemakaian masker di dalam negeri. Masyarakat dapat menanggalkan masker jika beraktivitas di luar ruangan atau area terbuka yang tidak padat orang.
“Namun untuk kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik, tetap harus menggunakan masker,” ujar Jokowi langsung dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (17/05).
Bersamaan dengan pelonggaran pemakaian masker, pemerintah juga melonggarkan persyaratan perjalanan domestik dan luar negeri. Masyarakat yang sudah divaksinasi covid-19 dosis lengkap hingga booster, tak perlu melakukan tes covid.
Tentu, berbagai pelonggaran memengaruhi bisnis laboratorium pengetesan covid-19, yang sebelumnya masif digunakan untuk berbagai syarat utama aktivitas masyarakat.
Direktur Operasional Kimia Farma Diagnostika Winastanto mengamini, saat ini prospek penggunaan tes antigen dan PCR memang tidak sebesar permintaan pada tahun lalu.
Pada awal Februari 2022, rata-rata harian pemeriksaan tes covid-19 KAEF sempat mencapai 5.500 tes Antigen/hari dan 160 tes PCR/hari.
Tetapi, bukan berarti layanan pengetesan ini menghilang sepenuhnya. Sejumlah perusahaan masih menggunakan layanan pemeriksaan antigen dan PCR covid-19. Banyak individu juga masih peduli akan tes ini. Karena itu, perseroan masih menjaga ketersediaan stok sesuai dengan rata-rata transaksi harian pada saat ini.
“Sejauh ini, pelayanan antigen dan PCR covid-19 masih dibutuhkan untuk kepentingan check up rutin secara pribadi maupun kepentingan perusahaan dalam melakukan rekrutmen pegawai,” sebut Winastanto kepada Validnews, Jakarta, Jumat (27/5).
Manis Yang Sama
Menilik laporan tahunan, Kimia Farma mencatat pertumbuhan penjualan sebesar 28,50% pada 2021 dibanding tahun sebelumnya. Nominalnya naik dari Rp10,01 triliun menjadi Rp12,86 triliun.
Spesifik, Kimia Farma juga menyebut, penjualan di sektor jasa pada 2021 meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar Rp351 miliar. Di sektor ini ada pemeriksaan antigen, RT-PCR, serta jasa penyuntikan vaksin di entitas KFD sebagai akibat dari pandemi covid-19.
Perolehan cuan tak hanya dirasakan Kimia Farma. Beragam perusahaan di sektor serupa, mengecap manis yang sama. Namun, kondisi kini, jelas berbeda.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh menilai, secara keseluruhan, permintaan alat kesehatan atau alkes untuk kebutuhan covid-19 sudah menurun sangat signifikan.
Gakeslab menaksir, jumlah kebutuhan alkes harian untuk covid-19 saat ini hanya tersisa 10% dibandingkan kondisi sama pada 2021. Hitungan Randy, saat ini pemeriksaan sampel covid-19 hanya sebesar 30-50 ribu/hari.
Jumlah itu begitu jomplang dibanding target sebelumnya yang bisa mencapai 500 ribu-1 juta pemeriksaan/hari. Penurunan pemeriksaan juga berbanding lurus dengan penurunan permintaan alkes.
“Otomatis kalau pemeriksaan (covid-19) turun, permintaan (alkes) dari RS dan laboratorium terhadap anggota Gakeslab juga menurun,” katanya kepada Validnews, Jakarta, Jumat (27/5).
Adapun alkes yang masih banyak dibutuhkan adalah yang berjenis sekali pakai. Di antaranya adalah alat pelindung diri (APD), masker, alat suntik, dan lainnya. Randy menyebut, alkes tersebut sebenarnya tetap dibutuhkan RS atau masyarakat terlepas ada atau tidaknya covid-19.
Permintaan alkes juga datang untuk kebutuhan vaksinasi mencakup alat suntik, plester, kapas alkohol dan sejenisnya. Begitu juga APD untuk petugas pemeriksa, alat skrining termometer, hingga alat penunjang berupa vaccine carrier atau kontainer.
Sementara peralatan utama sudah tidak memiliki pertumbuhan permintaan lagi saat ini, seperti ventilator, monitor, tempat tidur, dan seterusnya. Begitu juga dengan alat tes antigen dan sejenisnya yang ikut menurun selaras dengan penurunan pasien korona.
“Jadi (permintaan alkes) sudah kembali ke garis kebutuhan rumah sakit seperti biasanya. Jadi sudah mencapai keseimbangan karena emang cakupannya (pasokan) udah cukup luas,” ujarnya.
Risiko Bisnis
Soal penurunan cuan, Randy tak terlihat gamang. Dia menilainya sebagai sebuah risiko bisnis normal yang harus dihadapi semua pelaku usaha di bidang kesehatan. Risiko bisnis kesehatan normal juga terjadi karena sejatinya semua penyakit memiliki siklus.
Misalnya, penyakit demam berdarah yang muncul pada musim penghujan, namun mereda atau hilang ketika masuk musim kemarau.
Jauh sebelum seperti sekarang, kondisi penurunan sudah sempat terjadi manakala Indonesia telah berhasil melewati puncak kasus korona varian Delta maupun Omicron. Disambung dengan tingkat vaksinasi yang tinggi, sehingga kasus positif baru semakin terbatas.
“(Sekali lagi), ini semua kondisi normal yang harus diantisipasi dan disikapi sebagai risiko bisnis untuk pelaku usaha alat kesehatan dan alat laboratorium,” sebutnya.
Terhadap para pelaku usaha di bidangnya, Randy mensinyalir, mereka yang baru membangun pabrik 1-2 tahun terakhir, tingkat profit dari investasinya (Return on Investment/ROI) masih belum berkembang. Apalagi, jika investor hanya fokus memproduksi alat-alat covid-19 saja.
Dia memaparkan, ROI industri alkes bisa memakan waktu hingga 3-5 tahun, bahkan bisa lebih lama.
“Tentu (perlu) antisipasi untuk mengembangkan portofolio produk-produk lainnya. Perhitungannya (bisnis kesehatan) mesti multiproduk dan emang siap investasi jangka panjang ya,” katanya.
Butuh Rencana Bisnis Baru
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengamati bisnis alkes selama pandemi. Dia meyakini, pengetesan merupakan salah satu cara pengendalian covid-19. Tak mengherankan jika implikasinya, bisnis laboratorium pengetesan berkembang pesat di beragam tempat.
Mengacu teori ekonomi dasar, di mana ada permintaan, maka bisnis akan berusaha memenuhi suplai. Adapun titik temu keduanya adalah harga. Selama permintaan melampaui suplai, harga akan terus naik sampai kondisinya berbalik.
“Nah, sekarang kan tes covid-19 tidak diwajibkan lagi, tentu permintaannya berkurang. Sementara kompetisi (antar pelaku usaha), seharusnya menurunkan harga atau laba,” ujar Andree kepada Validnews, Senin (30/5).
Dia mengatakan, keberadaan berbagai lab baru selama pandemi, meningkatkan juga kapasitas kesehatan Indonesia. Tetapi, dia menilai lab-lab tersebut tidak bisa terus hanya bergantung kepada layanan tes covid-19, di sisi bisnis. Kebutuhan akan layanan yang didiversikasi ini dipercaya masih tinggi.
“Jadi, lab-lab ini perlu diversifikasi ke tes-tes lain yang sifatnya lebih jangka panjang. Misalnya, menawarkan tes patologi lain, seperti hepatitis atau TBC, maupun tes penyakit gaya hidup seperti diabetes, ginjal, hati, dan lainnya,” jabarnya.
Dari sisi kelangsungan bisnis, dia menyerukan agar pelaku usaha dapat memaksimalkan potensi ekspor bahan tes/reagen ke negara lain. Apalagi, alat tes antigen covid-19 yang diproduksi di Indonesia sudah mempunyai banyak lisensi dari luar negeri.
“Kalau ini bisa diekspor kembali ke negara asal lisensi, tentu baik. Tetapi kuncinya adalah barang produksi Indonesia ini harus memenuhi standar kualitas internasional, jika ingin diekspor,” sebutnya.
Jalankan Strategi Baru
Beberapa anggota Gakeslab sudah melakukannya. Sejumlah produk alkes yang sudah diproduksi dan melebihi kebutuhan seperti seperangkat alat suntik, masker, hingga APD diekspor ke negara yang masih berjibaku dengan covid-19.
Setidaknya, produk-produk alkes Indonesia sudah berhasil dikapalkan ke negara nonprodusen seperti negara-negara di Afrika, beberapa Eropa dan Asia. Meski, diakuinya, alkes Indonesia belum bisa menembus pasar China yang merupakan negara produsen.
“Untuk (ekspor alkes) Asean saya belum dengar ekspornya, tapi tentu semua celah untuk mengekspor kita kejar,” pungkas Randy.
Sementara itu, Winastanto juga mengungkapkan, Kimia Farma telah menyiapkan strategi lain untuk menghadapi penurunan permintaan tes antigen dan PCR yang terus berkurang. Pengembangan bisnis eksisting di laboratorium klinik dan klinik menjadi pilihan yang dikembangkan.
“Begitu juga dengan mengembangkan klinik utama spesialistik, layanan Home Care dan Telemarketing,” sebut Winastanto.
Belum lama, Kimia Farma Diagnostika memperkenalkan layanan Reservasi Online, Telesales serta layanan Home Care yang tersedia di 48 titik seluruh Indonesia.
Layanan Home Care merupakan upaya untuk menjangkau pelanggan di rumah, agar lebih nyaman. Home care menyediakan 700 dokter di Indonesia, yang ditunjang 400 spesialis seperti rehabilitasi medik, radiologi, hingga perawat.
Sementara itu pasiennya bisa siapa saja, mulai dari bayi hingga orang tua.
Begitu pula keluhan yang dialami, dari pasien diabetes, fisioterapi dan pengambilan sampling untuk pelayanan proses di laboratorium. Di dalam layanan Home Care juga terdapat telemedis, yang dapat menjangkau masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia untuk berkonsultasi dokter spesialis dari Jakarta.
Strategi ini diyakini bisa tetap mendatangkan pemasukan ke pundi-pundi perusahaan setelah kondisi ditetapkan jadi endemi.